02 Maret, 2003

Gang of Four

Sudwikatmono:
"Tidak Benar The Gang of Four Bubar"


Sore itu, pria berbatik cokelat itu berusaha terlihat segar. Padahal badannya yang hampir 70 tahun sedang payah terserang flu. Batuk tak henti menyela saat ia bertutur. Layaknya orang tua, dia bersemangat mengisahkan suksesnya di masa lalu. Sampai soal-soal kecil.

Tapi ada yang beda dari bapak empat anak ini. Dia tidak malu mengakui bahwa hidupnya ikut berkibar dengan naiknya kakak sepupunya menjadi penguasa Orde Baru. Maka dengan tahu diri, ia rela kilaunya turut meredup seiring runtuhnya kekuasaan Soeharto.

Pak Dwi, begitu pria kelahiran Solo dengan nama Sudwikatmono ini biasa dipanggil, tak terkejut bila tak ada lagi pejabat takut padanya. Saat aparat Kejaksaan menekannya dalam kasus Bank Surya, misalnya, ia tak berulah. Demi ketenangan dan nama baik, katanya mengutip nasehat istrinya Sulastri, ia lunasi utang yang menjadi kewajibannya.

Ia miris melihat sahabatnya Bob Hasan dan keponakannya sendiri dikirim ke Nusakambangan. Saat itu, nama penjara Cipinang dan Nusakambangan terus terngiang di telinganya. Itu sudah membuatnya tak bisa tidur. Maka ia lebih rela melepas Rp 1,8 triliun agar terbebas.

Di ruang tamu rumahnya yang sejuk, terletak di kompleks paling elit kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, dua jam dia bercerita kepada Johan Budi S.P. dan Y. Tomi Aryanto dari Tempo News Room. Berikut petikannya:

Apa kegiatan rutin Anda sekarang?


Tak pernah berubah. Habis sembahyang subuh, menghangatkan badan. Jalan kaki satu jam keliling komplek tiga kali, hampir lima kilometer. Hobi jalan kaki. Makanya pindah ke Pondok Indah. Sempat di Simprug dulu setelah pindah dari Menteng. Istri minta saya full istirahat. Jumat-Sabtu-Minggu diganti berenang tiap kali satu jam. Sana-sini delapan kali, yang penting bergerak.

Dibanding dulu, berapa banyak berkurangnya?
Selama krisis ini drastis sekali. Dulu saya pegang Indocement dan Bogasari sebagai pimpinan teratas. Waktu itu jam enam saya sudah berangkat. Jam tujuh sudah di kantor. Sekarang santai. Jam 10.00 dari rumah, pulang jam 15.00. Jam 17.00 sudah santai tidur. Kadang ke PT Indika Entertainment jam 14.00-16.00. Sifatnya hanya mengontrol dan menasehati.

Sekarang masih mengurus apa saja?
Saya masih pegang Bogasari dan Indofood. PT Indika saya urus bareng anak-anak. Sedangkan Bank Surya sudah putus, sejak jadi kasus dengan Bambang Soetrisno.

Sebenarnya sejak kapan Anda mulai berbisnis?
Bisnis mulai 1957. Awalnya ekspor kulit yang bau itu. Sebelumnya, waktu sekolah, malah sempat jual sepeda bekas. Saya beli hanya Rp 200. Diperbaiki habis Rp 500, lalu dijual seharga Rp 1.200. Untungnya buat kuliah di Fakultas Ekonomi, UGM. Tapi lama-lama tidak sanggup. Baru tingkat dua ibu sudah sambat (mengeluh) soal biaya. Bapak sudah pensiun. Ibu hanya terima uang dari sewa kamar kos. Bahkan saya sampai satu kamar dengan anak kos. Tapi saya tidak mau minta kakak-kakak saya. Walaupun sebenarnya bisa. Saya mau cari sendiri.

Kapan bisnis mulai menggurita?
Waktu Bogasari pertama berdiri, kantornya di Jalan Asemka, Kota, Jakarta itu luasnya cuma 100 meter. Sekamar cuma isi dua meja. Padahal kami berempat. Jadi yang datang lebih pagi bisa duduk. Saya tugasnya cari izin-izin ekspor-impor. Harus nongkrong di departemen perdagangan. Pak Ibrahim Risjad ke bank cari kredit. Dia pintar lobi, karena bekas wartawan di Medan. Lalu Om Liem Soe Liong urusan finansial. Cari duit juga ke luar negeri. Dan Liem Gian atau Pak Johar Susanto juga begitu. Itulah The Gang of Four.

Kenapa Anda bagian cari izin? Apakah karena saudara Pak Harto?
(Tertawa) Ya, mungkin diambil strategisnya. Itu saya akui. Itu di mana-mana sami mawon (sama saja). Asal melalui prosedur yang logis. Tapi oleh Pak Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan Kabinet Pembangunan I) saya pernah dites. Saya janji ketemu jam 08.00, jam empat baru diterima.

Dulu pakai memo dari Pak Harto?
Nggak, sama sekali tidak. Saya nggak pernah lapor Pak Harto. Karena saya tahu sifatnya. Walaupun famili, harus melalui prosedur. Jangan sedikit-sedikit minta petunjuk. Saya tidak mentang-mentang.

Waktu bikin Indocement dengan Om Liem lagi? Dan Anda bagian izin lagi?
Lho, selamanya. Sampai detik ini pun belum bubar. Pada 1975 kami bangun Indocement. Jadi isu bahwa The Gang of Four bubar, itu tidak benar. Hanya beda pendapat itu wajar. Saya sudah jadi bos (tertawa) saat di Indocement. Tapi kalau kesulitan (izin), terpaksa saya telepon (Pak Harto) juga.

Masih sering ketemu Om Liem?
Pasti. Sebulan sekali kadang ke Singapura ketemu, rapat. Dia tidak berani ke sini. Takut. Padahal dia itu tidak dicekal, lho. Om Gian juga bebas. Cuma trauma. Karena rumahnya Om Liem dibakar habis sampai dokumen dan foto-foto. Kasihan kalau lihat Gunung Sahari sudah jadi arang begitu. Dia cari waktu membangun lagi. Karena dalam hatinya dia senang di sini. Di sana itu tidak ada kawan. Makanya saya sering datang menghibur. "Dwi, kapan ini ekonomi baik?" katanya. Sekarang dia lebih gemuk. Baru saja ulang tahun ke-80.

Kapan bisnis film dimulai?
Sebelum bangun Indocement dan Bioskop 21, kami bikin importir film Mandarin di Kota. Perjuangannya tidak gampang. Baru dua tahun dapat izin. Waktu ide itu saya lontarkan ke Pak Harto, dia mrengut (cemberut), "Itu sensitif. Nggak gampang. Kalau nanti diimpor dari Cina, kan mempengaruhi. PKI bisa timbul lagi." Lalu saya disuruh menghadap dua jenderal Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang beken kereng (sangar, menakutkan)-nya. Soemitro dan Ali Moertopo. Wah, saya dimaki-maki Pak Mitro. Waktu itu mereka berdua nggak cocok. Ternyata dua jenderal itu hanya mau minta ke Pak Harto jika pasti diterima.

Biasanya lewat Ibu Tien atau langsung ke Pak Harto?
Langsung ke Bapak. Kalau melalui Ibu Tien malah mentah. Saya pilih waktu bicara di tempat Bapak sedang rileks. Biasanya jam lima sore, dia baca koran. Kalau korannya tidak begitu hangat beritanya, saya langsung disuruh duduk ngomong. Saya sendiri merasa, walaupun dulu waktu kecil ikut ibu saya, dia sangat berwibawa.

Pakai protokoler juga?
Oh, ya. Harus lewat ajudan. Nggak bisa nyelonong saja meskipun keluarga. Kalau sedang ada tamu, paling-paling anak-anaknya. Kalau sedang bareng ibu ya mesti nunggu. Tapi kalau jam lima sore Ibu pasti sedang tidur. Saya yang harus baik pada ajudan.

Kapan masuk ke bisnis bank?
Waktu itu swalayan Golden Truly maju pesat, sampai enam outlet. Daripada uang kas kami titip ke bank lain, di Lippo dan BCA, itu kan yang senang mereka. Kalau kita punya sendiri, maka semua masuk ke grup. Tadinya saya tidak setuju karena latar belakang saya bukan di bank. Tapi akhirnya percaya, meskipun nggak mau urus. Ternyata keteteran. Karena Bank Indonesia sudah bilang tidak ada lagi bank baru, kami cari bank yang mau bangkrut untuk diperbaiki. Dapat Bank Surya di Surabaya. Benny Suherman mau ikut juga. Waktu itu ada Paket Oktober-nya Pak Sumarlin. Gampang sekali. Makanya saya setor modal cuma Rp 10 miliar di Bank Subentra. Tapi saya tidak jadi pengurus. Makanya saya tidak kena masalah di Subentra.

Bagaimana akhirnya masalah Bank Surya?
Direktur utamanya ganti tiga kali. Yang terakhir terlalu takut. Apa kata Bambang Soetrisno diikuti. Bambang membuat dan beli PT sampai 161. Semua tidak aktif. Hanya PT di atas kertas. Ada 103 perusahaan yang mengambil kredit dari Bank Surya rata-rata Rp 7,5 miliar. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kan turun terus dan diambil mereka. Semuanya rekayasa Bambang.

Kapan itu?
Pada 1996, sudah ada beberapa kali teguran. Tapi tak pernah disampaikan pada saya. Saya panggil mereka. Mereka bilang itu biasa. Katanya bank-bank lain juga begitu. Teguran itu cuma formalitas. Saya minta ketemu auditor nggak pernah bisa. Perasaan saya mulai nggak enak. Kemudian dapat surat kaleng dari karyawan. Ketahuannya saat diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bambang pernah dipanggil. Tapi dia sakit dan lalu tidak pernah kembali lagi. Jaksa Agung saya lapori temuan bahwa Bambang Soetrisno telah membobol Bank Surya sekian triliun. Supaya saya jangan disalahkan. Tapi jaksa nggak mau tahu. Saya diminta tandatangan karena pemegang saham di Jakarta cuma saya yang ada. Jadi harus tanggungjawab. Saya pikir-pikir. Lalu berunding dengan anak-istri. Semua sedih. Nggak berbuat kok disuruh menanggung. Tapi saya bilang pada mereka bahwa undang-undangnya begitu. Jaksa yang berkuasa. Lalu istri saya bilang kalau duit bisa dicari. Tapi nama harus diamankan. Karena duit kontan nggak ada, saya kumpulkan saham dan aset, lalu saya serahkan lewat program MSAA (Master of Settlement on Acquisition Agreement) itu. Saya harus kooperatif.

Untuk itu anda akan dapat surat pembebasan kan?
Ya, mudah-mudahan. Padahal kalau mau adil mestinya separuh Bambang yang harus tanggung Rp 1,8 triliun itu. Tapi dia nggak ada. Makanya diadili in absentia. Itu urusan kejaksaan, saya nggak pernah protes. Tapi ada juga yang bilang saya kongkalikong dengan Bambang.

Cara Anda menghindari konflik itu karena pengaruh filosofi Jawa?
Ya, filosofi saya itu, janganlah mencari musuh. Kalau masih mampu, atasi saja. Karena tidak mungkin pemerintah atau saya menyeret dia ke sini, ya, daripada saya yang diengkuk-engkuk (ditekan berkali-kali). Ancaman pilih mana, Cipinang atau Nusakambangan, itu terngiang-ngiang terus. Padahal orang Kejaksaan itu saya kenal baik, tapi bagaimana ya?

Atau, mungkin karena Pak Harto tidak berkuasa lagi?
Ya, mungkin. Saya rasa begitu dan mereka tahu bahwa saya kroninya. Jadi ini merupakan konsekuensi logis bagi saya. Daripada nama saya jelek, ya, istri saya bilang duit bisa dicari. Tapi nama tidak bisa.

Siapa yang Anda ajak diskusi soal-soal begini?
Anak-anak saya. Saya katakan pada mereka untuk tidak dendam pada Bambang. Itu bukan filosofi saya. Orang muslim tidak boleh dendam. Yang penting bagaimana secara hukum mengambil kembali hak.

Anda diskusi juga dengan Pak Harto?
Ah, nggak. Wong anaknya sendiri saja kena kok. Bagaimana?

Tidak minta nasehat?
Saya sudah tahu kok. Ini konsekuensi orang dagang.

Tapi masih sering ke sana?
Masih. Sebagai saudara. Nggak seperti dulu yang ada proyek atau basa-basi. Sebulan sekalilah. Karena nggak enak lho. Kalau pas ulang tahun atau selametan.

Apa topik obrolannya?
Ya, biasa keluarga saja. Nggak boleh bicara politik. Beliau orangnya nggak senang kalau misalnya kita ngomong, wah Pak Harmoko begini-begini. Kok benci sama Pak Harto kenapa ya? Nggak pernah. "Jangan jelekkan orang lain. Sudah, jangan bicara yang itu. Yang lain saja," begitu kata dia.

Berapa lama kalau ketemu akhir-akhir ini?
Nggak lama. Karena beliau itu orangnya nggak suka ngomong. Kedua, dia memang sakit saraf. Komunikasinya sulit. Saya harus tahu diri untuk tidak banyak omong. Setengah jam itu yang dipakai bicara paling sepuluh menit. Sisanya dia lihat televisi.

Katanya nggak boleh nonton televisi?
Nggak. Sekarang bebas. Marah dia. "Aku ora apa-apa (saya tidak apa-apa). Wong kritik sehat kok," katanya.

Katanya soal Tommy dia sensitif?
Ya, betul. Saya sendiri selalu dipesan Tutut, kalau bicara pada Bapak agar jangan menyinggung soal Tommy. Saya bilang ya, saya sudah tahu. Karena apa, dia itu orang yang tidak pernah menangis. Waktu Ibu Tien meninggal saja dia tatag (tabah) kok. Tapi waktu tahu Tommy dipindah ke Nusakambangan, menetes-netes air matanya. Anaknya langsung buru-buru ambil tisu. Tiap hari dia tanya bagaimana kesehatan Tommy. Kan masih bisa hubungan telepon. Tapi pasti disadap kan. Makanya bicaranya harus hati-hati.

Anda pernah menjenguk Tommy? Itu kan ponakan?
Belum (terdiam sejenak). Nanti ada ekses-ekses. Sebetulnya sudah berkali-kali ingin. Belum ada waktu saja. Nanti kalau dia sudah agak tenang. Saya dengar kabar kalau dia sering bengong. Terlihat menyesal, begitu.

Pendapat Anda terhadap kebijakan pemerintah memberi surat bebas pada konglomerat tak bertanggungjawab?
Ya, nggak fair. Kalau yang nggak bertanggungjawab, melarikan diri atau ngemplang itu ya saya tidak setuju. Istilah Jawanya di-gebyah-uyah (disama-ratakan). Mestinya harus orang yang betul-betul secara fisik, secara audit, uji tuntas keuangan melunasi sampai titik terakhir, seperti saya (tertawa). Itu nggak bisa dipungkiri. Berkali-kali diaudit, pertama oleh Glenn Yusuf, tak ada bukti saya menggunakan dana itu.

Hubungan Anda dengan Presiden Indonesia yang sekarang (Megawati)?
Baik, tetapi tidak seperti kalau antara saya dengan Presiden Soeharto (tertawa lebar). Pak Taufik Kiemas dua kali ke kantor. Tapi dia harus menjaga sebagai suami presiden. Saya juga tidak berani minta proyek. Nggak ada isu macam-macam. Nggak kayak dulu, apa-apa selalu dihubungkan.  (Koran Tempo - Minggu 2 Maret 2003)

Tidak ada komentar: