11 Juli, 2009

Disini Buaya disitu Cicak

Saat ini Cicak sedang naik daun, diperbagai blog dan milis beredar kisah Cicak lawan Buaya, bahkan kabarnya akan dibentuk gerakan CICAK (Cintai Indonesia CintAi KPK).

Kegaduhan ini bermula dari wawancara Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji yang dimuat dalam Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009 tentang penyadapan hape pak Susno berkaitan dengan kasus Bank Century.

Susno mengatakan dirinya sudah tahu tentang penyadapan itu, sehingga ia justru sengaja mempermainkan para penyadap dengan cara berbicara sesuka hati.

Mengenai KPK, beliau mengaku sebagai anggota tim perancang undang-undang (KPK). 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) juga personel polisi, sehingga mengenai rumor dirinya akan disergap tim KPK karena terkait kasus Bank Century, beliau menganggap sebagai hal yang terlalu dibesar-besarkan. "Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Mana berani nangkap?" katanya.

Diakhir wawancara, menjawab pertanyaan kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada beliau, Susno menjawab "Karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang meminterkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa."

Meskipun kemudian pak Susno membantah bahwa ungkapan Cicak dan Buaya ditujukan pada institusi tertentu, publik menilai, dari konteks pembicaraan, yang diumpamakan Cicak adalah KPK sedang Buayanya adalah Mabes Polri.

Ehem...

KPK memang sedang digempur. Bermula dari penahanan ketuanya dengan tuduhan pembunuhan yang kasusnya sampai saat ini tak kunjung jelas, malah melebar kemana-mana. Kemudian, meskipun kelihatannya KPK sudah mandul sepeninggal pak Antasari Azhar yang terkenal galak, serangan demi serangan pamungkas dilancarkan.

Beberapa hari setelah penahanannya, berbagai pihak mendesak agar presiden segera mengeluarkan SK pemberhentian sementara Antasari, tidak usah menunggu dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

DPR mempertanyakan legalitas pimpinan KPK yang sekarang dipegang secara kolektif serta kewenangannya untuk beroperasi.

Dalam kunjungannya ke kantor redaksi Kompas pada Rabu 24 Juni 2009, Pak SBY dikutip mengatakan "Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go unchecked. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggung-jawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati." SBY kemudian menerangkan bahwa pernyataannya tidak dalam konteks melemahkan, mengurangi otoritas atau mengebiri KPK. Pernyataannya hanya mengingatkan KPK agar mawas diri karena telah menjelma menjadi lembaga superbody. Konteksnya berlaku bagi semua lembaga negara. SBY hanya ingin seluruh penegak hukum mengikuti aturan hukum serta kewenangan yang ada. Jangan sampai tindakan petugas justru membuat takut seluruh pihak.

Membuat takut, climate of fear, itu yang memang dulu sengaja diciptakan oleh Antasari, menurutnya penangkapan para koruptor telah mengembalikan banyak uang negara, tapi mencegah keinginan untuk korupsi akan menyelamatkan uang negara yang tak ternilai jumlahnya. "Now everyone says the KPK is scary. Well, let it be like that. We cannot have obedience without creating a climate of fear." (Sekarang semua bilang KPK menakutkan. Baik, biar saja begitu. Tidak akan ada kepatuhan tanpa adanya rasa takut.) katanya menjelaskan.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menarik personilnya di KPK dan mendadak berminat melakukan audit terhadap Sekretariat Jenderal KPK. ”Kami juga akan mengaudit proses penyadapan di sini,” kata Kepala BPKP, Komisaris Jenderal (Polisi) Didi Widayadi. BPKP mengaku audit yang dilakukan kepada KPK atas perintah dari Presiden, yang dibantah keras oleh pak SBY. "Ada perintah langsung, tapi perintah langsung pimpinan tidak harus selalu tertulis, tapi kita bisa isyaratkan early warning wanti-wanti itu, sebagai pembantu presiden kita sudah anggap itu sebagai perintah," kata pak Didi Widayadi.

Baru-baru ini polisi memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut melakukan penyadapan ilegal. Pak Chandra diperiksa penyelidik Kepolisian Daerah Metro Jaya berkaitan dengan perkara pemimpin KPK, Antasari Azhar. Chandra adalah penandatangan perintah penyadapan lima nomor telpon oleh ahli IT KPK, salah satunya, menurut penyidik Polda Metro Jaya, adalah milik Rani Juliani yang bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan, jadi tidak ada hubungannya dengan korupsi.

Kemudian ada isu miring bahwa Pak Antasari berupaya melakukan negosiasi dengan polisi dan jaksa dengan tujuan supaya hukumannya diperingan. Antasari menyatakan memiliki sejumlah bukti adanya jual-beli perkara di KPK yang melibatkan koleganya di sana, antara lain, rekaman suara perbincangan Antasari dengan seorang pengusaha rekanan pemerintah yang mengaku pernah dimintai uang oleh salah satu pemimpin KPK. Meskipun nantinya terbukti tidak benar, setidak-tidaknya saat ini gosip itu telah memecah belah para petinggi KPK, mereka jadi saling curiga satu sama lain.

Yang terakhir bisa dilihat dari belum adanya tanda-tanda DPR menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jika pada Desember nanti, menurut tenggat yang diberikan Mahkamah Konstitusi, RUU tersebut tidak selesai, dapat dipastikan KPK akan lumpuh.

Padahal draft Rancangan Undang-Undang itu sendiri kabarnya berisi pasal-pasal yang memutilasi kewenangan KPK. Kalau lolos pun, nantinya KPK hanya berhak melakukan penyelidikan, sedang penangkapan, penahanan dan penuntutan dilakukan institusi-institusi lain. Memang banyak pihak yang menilai KPK kurang santun. Dalam hal penangkapan, misalnya, KPK melakukannya begitu mendadak. Targetnya tidak diberi kesempatan untuk, misalnya, bepergian terlebih dulu.

Mungkin serangan bertubi-tubi itu sebetulnya tidak perlu, karena menurut pak Susno menggembosi KPK itu gampang. Tarik semua personel polisi dan jaksa, lalu Komisi III DPR nggak usah beri anggaran. Nanti sore juga bisa gembos.

Atau, bisa saja maksudnya supaya kelihatannya KPK mati karena sakit, bukan karena dibunuh. Saya sendiri, sebagai seorang pesimistis, menilai bahwa tanpa pak Antasari KPK sebetulnya hanya semacam dekorasi saja. Sebelum dan sesudah Antasari tidak ada gebrakan KPK yang membuat rakyat terkaget-kaget-senang. Namun saya juga bisa memaklumi kekhawatiran para koruptor, kalau wadahnya masih ada bagaimana kalau nanti tiba-tiba muncul Antasari baru?

Tidak ada komentar: