13 Maret, 2009

Hape

TEMPO Interaktif beberapa waktu yang lalu memberitakan:


Sebuah mobil Suzuki SX4 dibobol maling di Jalan H. Saidi, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (4/2) siang. Akibat aksi pencurian itu, sebanyak tiga buah telepon genggam, uang Rp 300 ribu dan $ 70 Singapura, kamera digital Olympus, kamera polaroid, satu buah Blackberry, serta Ipod melayang digasak maling.

Kasihan, saya ikut prihatin dengan sikorban, seorang remaja putri.

Rakyat Indonesia, terutama di kota-kota besar saat ini sedang gandrung dengan pernak-pernik elektronik, terutama hape. Kemaren saya takjub melihat seorang bapak setengah baya berjalan hilir-mudik di satu lorong supermaket sambil bicara dengan dua hape sekaligus!, kabel handsfree yang tertancap ditelinga kirinya menjulur dari sebuah hape didalam saku, hape yang kedua membekap mesra kuping kanannya. Dia terus berbicara, dan tertawa sambil sesekali menabrak pembeli yang lain. Beberapa waktu yang lalu, disebuah warung makan, di meja sebelah saya seorang ibu dan dua anaknya yang kecil berusaha berbicara dengan sang bapak yang terus sibuk memencet-mencet hapenya sambil cengar-cengir, sebuah pemandangan yang ironis - sebuah alat komunikasi justru menjadi penghalang komunikasi yang paling esensial.

Dua kasus diatas pelakunya adalah bapak-bapak setengah baya yang seharusnya sudah dalam tahap perilaku yang efisien dan mengikuti skala prioritas. Dari apa yang saya lihat, ibu-ibu setengah baya justru lebih dewasa dalam menyikapi fenomena kemajuan teknologi sang satu ini.

Bagaimana dengan para remaja?, tampaknya remaja putri jauh meninggalkan lawan jenisnya dalam bergadget-mania, lihat saja daftar yang ada diberita diatas: satu Ipod, dua kamera, empat buah hape (yang tentunya mempunyai fungsi kamera dan ipod juga). Itu yang ditinggalkan didalam mobil saat sedang main di rumah temannya. Yang dibawa?

Pada awal kemunculan hape, ketika harganya masih mahal sehingga cuma dimiliki oleh kalangan terbatas, mereka biasa bertelpon dengan suara keras di tempat umum. Kalau naik kereta api, misalnya, kita bisa mendengar orang yang sedang menelpon di gerbong sebelah. Sebagian orang berdiri pada saat menelpon, seakan-akan menuntut pengakuan atas statusnya yang baru: berduit dan modern.

Sekarang, ketika bahkan hape diberikan gratis bersama pembelian pulsa perdana, sebagian orang masih menelpon dengan suara keras. Misalnya, ketika saya sedang didalam rumah menonton tivi, saya dapat mendengar kata demi kata dari seorang pengendara motor yang berhenti di jalan didepan rumah untuk bertelpon. Mungkin operator selulernya atau kwalitas hapenya kurang bagus. Tapi yang paling umum dijumpai - ya itu tadi, berdiri sambil tengok kanan dan kiri atau berjalan hilir-mudik dikeramaian sambil cengar-cengir dan tertawa, kebanyakan menggunakan handsfree, baik yang pakai kabel maupun yang tanpa kabel, kebanyakan laki-laki diatas 20 tahun. Dalam urusan yang satu ini, para ibu dan remaja jelas lebih berkelas.

Yang paling mengerikan tentu saja mereka yang menyetir kendaraan sambil bertelpon-ria, mungkin lupa mereka sedang mendorong besi berbobot ratusan kg ditengah keramaian. Di Amerika dan Eropa menyetir kendaraan sambil bertelpon mulai dilarang. Perbedaan kultur tentu saja. Disana menyetir kendaraan dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan juga dilarang.

Tidak ada komentar: